Di Zaman Nabi Saja Susah Dilaksanakan, Apalagi Sekarang
Hukum rajam atau dilempari batu sampai mati yang akan diterapkan di Nanggroe Aceh Darussalam. Bagi Pansus Qanun Hukum Jinayat DPR Aceh (DPRA), hukum itu dianggap telah sesuai syariat karena bersumber dari Al Quran dan hadits. Selain itu hukum rajam itu bukan hal yang baru di wilayah berjuluk serambi Mekkah itu, karena sejak ratusan tahun lalu hukum itu pernah diterapkan. Sekretaris Pansus Qanun Aceh, Bustanul Arifin mengatakan, Raja Iskandar Muda pernah merajam anaknya sendiri hingga tewas karena dituduh berzina dengan istri perwira istana. Tragedi serupa terulang pada tahun 1999 ketika seorang pemuda di Aceh Selatan dirajam karena mengakui berzina dengan pacarnya, namun ia tidak sampai tewas. Peristiwa sejarah itu menjadi landasan untuk menerapkan hukum rajam di NAD saat ini. Sebab hukuman tersebut dianggap sesuai syariat Islam dan pernah dilakukan oleh pemimpin Aceh tempo dulu. Namun literatur sejarah dan ayat-ayat Alquran tentang rajam dianggap sejumlah cendekiawan Islam tidak serta merta bisa diterapkan di masyarakat. Sebab hukum apapun juga yang akan diterapkan di sebuah wilayah harus berdasarkan kesepakatan seluruh komponen. "Kalau semua unsur di masyarakat Aceh menghendaki silakan saja. Selagi tujuan hukum tersebut untuk mencegah pelanggaran hukum di sana. Misalnya di Arab Saudi, yang menerapkan hukum pancung dan rajam," jelas Ketua PBNU Said Agil Siradj kepada detikcom. Hanya saja, sambung Siradj, dalam filosofi dan stigma hukum Islam, tidak mesti hukum itu dilakukan secara utuh. Dicontohkan Siradj, di wilayah Iraq, pada masa Imam Syafi'i, hukuman potong tangan tidak harus dikenakan terhadap pencuri. Pada saat itu ada sepuluh orang pencuri yang ditangkap penguasa setempat. Namun yang dipotong tangan hanya 1 orang saja sebagai pembelajaran. Sementara 9 pencuri lainnya hanya dicambuk. "Hukum itu pada dasarnya luwes dan disesuaikan dengan kondisi terkini. Karena yang terpenting tujuan hukum itu pembinaan. Bukan bersifat balasan," jelas Siradj. Soal hukum rajam ini sejak dulu memang masih dalam perdebatan. Ulama dan Fuqaha masih belum sepakat terhadap hukum sampai mati bagi pezina laki-laki dan perempuan yang sudah atau pernah menikah itu. Terutama soal penetapan hukum rajam, maupun metode pelaksanaannya. Cendekiawan Muslim prof. Dr. Azyumardi Azra sempat menyatakan, dalam Al Quran tidak ada ayat-ayat yang mengatur soal rajam. Sementara di hadist hanya ada satu keterangan. Itupun sanadnya sangat lemah alias dha'if. Sehingga landasan hukum soal rajam itu dianggap sangat lemah. Karena tidak ada keterangan di dalam Al Quran, hukum soal rajam tersebut sejak lama menjadi kontroversial. Sejumlah ulama dan fuqaha tidak ada kata sepakat soal hukum tersebut. Tidak heran hukum tersebut hanya digunakan sebagian kecil negara Islam, seperti Saudi Arabia dan beberapa negara teluk. Sedangkan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan menimpali, penerapan hukum rajam itu sangatlah sulit. Sebab dibutuhkan 4 orang saksi yang menyaksikan secara langsung persetubuhan tersebut. Jika kurang dari itu hukum rajam tidak bisa dilaksanakan. "Sekarang pertanyaannya, apakah ada orang yang mau bersetubuh disaksikan banyak orang secara massal?" tanya Amidhan. Karena sulitnya pembuktian untuk menghukum rajam, kata Amidhan, pada Zaman Nabi Muhammad SAW, hukum rajam itu sangat sulit bahkan mustahil untuk dilaksanakan karena proses pembuktiannya sangat-sangat sulit. Ditambahkan Amidhan, pada zaman nabi, hukum jinayat penekanannya lebih pada menimbulkan efek jera. Bukan sebagai pembalasan. "Jadi kesimpulannya, DPRA harus melaporkan Qanun Jinayat ini ke Mahkamah Agung (MA) dan mengikuti apa saran dan keputusan MA. Sebab MA adalah pucuk pimpinan hukum di Indonesia," pungkas Amidhan.
No comments:
Post a Comment